Selasa, 15 Februari 2011

GUNUNGAN SEKATEN




Peringatan acara Maulid Nabi Muhammad SAW digelar begitu meriah dimana-mana menenggelamkan gebyar pesona Valentine di kalangan remaja. Kalau ingat perayaan Maulid Nabi ini saya jadi ingat acara Grebeg Maulid yang sering dikenal "Sekaten" di Keraton Jogyakarta. Yach, sampai-sampai tradisi ini sudah membudaya di Yogyakarta dan kerap menjadi daya tarik para wisatawan.


Sejarah grebeg tidak dapat dilepaskan dengan sejarah Wali Songo yakni Sunan Kalijaga. Salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itu adalah dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi.

Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung dua makna kalimat.
Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah.
Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Karena saat itu masyarakat masih awam dan susah mengucapkan, akhirnya kata itu menjadi SEKATEN

Gunungan Grebeg atau Rebutan gunungan atau upacara grebeg ini diartikan merupakan simbol komunikasi kultural antara raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dan memperhatikan rakyatnya (kawulo-nya). Ini ditandai dengan sang raja memberikan sejumlah hasil pertanian untuk rakyatnya. Sebetulnya, dalam tradisi perayaan sekaten ini tak hanya gunungan dan udhik-udhik yang sarat dengan berkah. Namun muncul pula ndok abang (telur yang diwarnai merah) serta kinang. Telur merah ini dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan kinang jika dikunyah pas ketika gamelan berbunyi, dipercaya mampu membuat orang awet muda...*hmmm...ada yang mau coba...????*

Kini sekaten menjadi suatu tradisi di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama islam. 

Pesan moral lambang dari Gunungan sekaten adalah diharapkan adanya keseimbangan hubungan kepada Sang Pencipta dan kepada sesama manusia juga alam sekitarnya.

Namun Ruh sakral dari peringatan Sekaten yang sarat dengan pesan moral dan agama kini mulai bergeser pada urusan dunia. Mungkin karena banyak menyedot para wisata sehingga sekarang lebih banyak pagelaran-pagelaran lain semacam bazar dan panggung-panggung musik yang justru membuat orang terlena...lupa makna yang sesungguhnya. Sehingga Sekaten yang seharusnya tuntunan kini hanya bersifat tontonan biasa. Wallahu A'lam....