Kemilau cahaya di Kintamani tepatnya di Danau Batur membuat hati ingin menjelajah panorama danau indah dimana ada sebuah muara wisata yang cukup terkenal dan tertulis dalam sejarah peradaban negeri kita. TRUNYAN, itulah tujuan selanjutnya.
Yups, meski sudah menjelang jam 3 sore, namun aku nekat saja terus kekeh pingin melihat dekat akan lokasi Trunyan, untuk mencapai lokasi kita harus menggunakan jasa perahu motor yang tersedia di pinggir danau Batur. Biasanya para calo menawarkan tarif Rp. 250 ribu ~ 300 ribu per perahu PP atau per tujuh orang. Karena "guide" ku yang notabene kakakku sendiri tidak mau ikut, akhirnya aku sharing dengan wisatawan lain dengan harga Rp. 200 ribu per perahu setelah ada kesepakatan.
Hufff...., subhanalloh...Danau Batur begitu indah, alami dan sejuk pula. Pesona alam yang indah membuat lupa bahwa perjalan ke lokasi yang kurang lebih memakan waktu 20 menit udah hampir tiba. Dan perahu motor sudah mulai dikurangi lajunya, hanya saja yang menjadi heran saya tiba-tiba banyak perahu kecil yang merapat ke perahu kami. Lho ada apa ini...? apakah ini cara penyambutan tiap wisatawan..? begitulah benakku. Namun semakin banyak perahu kecil yang merapat dan seakan menghantam karena bertabrakan, kami ketakutan dan salah satu perahu langsung menodong alias para peminta-minta dengan paksa. aduh...kok kayak Perompak saja to ini..., maksa banget...!!!!
Akhirnya toh kita kasih sekedarnya. Langsung kita merapat ke tebing untuk mencapai lokasi. Waah...ini mungkin satu-satunya makam yang tidak menyeramkan *jika siang, kalo malam yo tetep seremm euy...!!* suatu desa yang dihuni oleh penduduk asli Bali yang memiliki adat pemakaman cukup unik yaitu pemakaman "terbuka" dimana jenazah dimakamkan di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Konon cekungan itu sendiri terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenazah hanya diletakkan begitu saja diatas cekungan batu dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari bahkan sampai tinggal tengkorak, jenazah yang tergeletak tanpa di"balsem" sama sekali tidak bau. Hal ini karena adanya pohon Taru Menyan di desa ini yang akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Desa Trunyan.
Yups, meski sudah menjelang jam 3 sore, namun aku nekat saja terus kekeh pingin melihat dekat akan lokasi Trunyan, untuk mencapai lokasi kita harus menggunakan jasa perahu motor yang tersedia di pinggir danau Batur. Biasanya para calo menawarkan tarif Rp. 250 ribu ~ 300 ribu per perahu PP atau per tujuh orang. Karena "guide" ku yang notabene kakakku sendiri tidak mau ikut, akhirnya aku sharing dengan wisatawan lain dengan harga Rp. 200 ribu per perahu setelah ada kesepakatan.
Hufff...., subhanalloh...Danau Batur begitu indah, alami dan sejuk pula. Pesona alam yang indah membuat lupa bahwa perjalan ke lokasi yang kurang lebih memakan waktu 20 menit udah hampir tiba. Dan perahu motor sudah mulai dikurangi lajunya, hanya saja yang menjadi heran saya tiba-tiba banyak perahu kecil yang merapat ke perahu kami. Lho ada apa ini...? apakah ini cara penyambutan tiap wisatawan..? begitulah benakku. Namun semakin banyak perahu kecil yang merapat dan seakan menghantam karena bertabrakan, kami ketakutan dan salah satu perahu langsung menodong alias para peminta-minta dengan paksa. aduh...kok kayak Perompak saja to ini..., maksa banget...!!!!
Akhirnya toh kita kasih sekedarnya. Langsung kita merapat ke tebing untuk mencapai lokasi. Waah...ini mungkin satu-satunya makam yang tidak menyeramkan *jika siang, kalo malam yo tetep seremm euy...!!* suatu desa yang dihuni oleh penduduk asli Bali yang memiliki adat pemakaman cukup unik yaitu pemakaman "terbuka" dimana jenazah dimakamkan di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Konon cekungan itu sendiri terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenazah hanya diletakkan begitu saja diatas cekungan batu dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari bahkan sampai tinggal tengkorak, jenazah yang tergeletak tanpa di"balsem" sama sekali tidak bau. Hal ini karena adanya pohon Taru Menyan di desa ini yang akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Desa Trunyan.
Nah..., yang perlu diwaspadai lagi yakni para Guide di sana, mereka seolah ramah mendampingi kita untuk melihat dan bercerita tentang Trunyan, namun saat pulang, kita akan ditodong untuk bayar uang jasa guide. Mereka tidak akan membiarkan kita pergi sebelum memberikan uang jasa tersebut bahkan sang pemilik perahu seakan disandera tidak boleh berangkat sebelum para penumpangnya membayar mereka. Ini mah Perompak Jilid 2.
Saat terakhir kita mau foto bersama dengan para tengkorak tuh, eeee.....ada lagi yang minta jasa sedekah buat sang model sekitar Rp. 20 ribu. Weleh.... tengkoraknya lho gak apa-apa kok manusianya yang gak rela...ckckckck...ini mah perompak Jilid 3 !!!
Ini hanya sharing saja berdasar penoropongan beberapa tahun yang lalu, berharap pihak Pariwisata di sana bisa memperbaiki kondisi yang tidak nyaman ini. Lebih baik masuk pakai tiket resmi saja tanpa pungli-pungli ya Pak..... >.<
*Sumber gambar dari koper mbah gugel wae gak usah bayar ..^_^
*Sumber gambar dari koper mbah gugel wae gak usah bayar ..^_^